- Back to Home »
- Cerpen , Hormones , Thai »
- Winter in Love
Posted by : Unknown
Author: Kelvinsa Seftendi Giovani
Created: January 01, 2016 7.45 AM
Words: 845
Total Editing Time: 136 menit
Bulan Desember telah tiba, pertanda
musim gugur terlah berlalu. Salju-salju mulai turun di sekitar Tokyo menghiasi
ranting-ranting pepohonan yang sudah rontok bunganya akibat musim gugur
kemarin. Fon yang masih mematung dalam duduknya hanya menatap secangkir coklat
panas yang mengepul tipis di depan wajahnya.
Fon perlahan menoleh ke arah kaca
jendela. Nampak salju-salju yang turun tipis dan bergemerlapan seperti kristal
akibat sorotan cahaya dari matahari sore yang sebentar lagi tenggelam
menghasilkan nuansa segar. Fon menghela napas berat seolah menyimpat luka yang
amat dalam di dalam lubuh hatinya. “Bank...” ucapnya lirih dengan mata mulai
memerah seakan tak sanggup lagi untuk menahan air mata yang memaksa keluar.
Sesak, dada semakin sesak saat Ia membayangkan seyuman yang terukir di wajah
Bank.
Musim dingin 5 tahun lalu. Fon yang
sedang duduk sambil melamun sendirian di bawah pohon sakura dengan bunga yang
menari-nari di rantingnya tiba-tiba dikagetkan oleh seekor burung dara berwarna
putih tepat di atas kepalanya. Burung itu menggigit sebuah gulungan kertas dan
diikat oleh pita merah. Fon berdiri dari duduknya dan perlahan mengambil kertas
yang di jatuhkan dari paruh burung
tersebut. Fon yang penasaran langsung melepas ikat pita merah dan membuka
gulungan kertas tersebut. “Fon, aku menyukaimu”, Deg! Spontan Fon mengerutkan
dahinya. Fon dengan segera memutar tubuhnya ke belakang.
“Bank?” ucap Fon lirih tak percaya.
Yang disebut namanya hanya tersenyum manis memperlihatkan gigi yang sudah tidak
berbehel lagi. Wajah keduanya sangat dekat membuat jantung Fon berdegub kencang
dan keluar keringat dingin di sekitar wajah. Hening, begitu suasana saat itu.
“Bank, kau ...”, perkataan Fon
terpotong.
“Iya. Aku yang mengirim surat itu”,
jawab Bank.
Bank mengundurkan tubuhnya sedikit
ke belakang dan memegang kedua tangan Fon yang dingin. Bank mencium hangat
bibir Fon yang beku. Lama...
“Bank, aku juga mencintaimu”, ucap
Fon dengan ketulusan yang terpancar dari
kedua bola matanya. Bank tersenyum bahagia.
“Tapi... aku harus pergi”, wajah
Bank mengerut berubah sedih.
Deg! Fon sangat kaget. “Pergi
kemana?”, hati Fon terasa sakit seperti di sayat oleh pisau yang tajam.
“Aku akan kembali”, Bank pun pergi
menjauh.
“Bank! Bank!”, teriak Fon. Tetapi
Bank tidak menjawab bahkan menoleh sedikitpun tidak.
Setetes air jatuh dari matanya
mengalir di pipi Fon yang dingin. Fon menonjok bangku di dektanya sekuat
tenaga. “Kau Bohong!”, teriak Fon keras tanda kekecewaan yang amat dalam.
Dadanya sangat sesak. “Kau pikir aku tak bisa hidup tanpamu!” teriak Fon sambil
memukul-mukul bangku.
Tiba-tiba ponsel Fon berdering
nyaring memecah suasana. Fon dengan segera menghapus air mata di pipinya dan
meraih ponsel di dalam saku mantelnya. Tertera nama James di layar ponsel dan
segera Ia mengangkatnya.
“Halo?”, sapa Fon mengatur napas
normal.
“Hallo, my love”, sapa lembut James
di telepon.
“nanti sore jam empat aku jemput
kamu ya”, tambah James.
Hening... “Hallo?”
“Oh, iyaiya”, jawab Fon terpaksa.
...
Suasana di dalam mobil sangat
hening. Tidak ada percakapan yang menarik. Fon dan James sama-sama melamun,
seakan sedang memikirkan sesuatu.
“James”, Fon membuka percakapan di
antara mereka.
“Oh, eh, i iya?”, jawab James.
“Kamu mau ajak aku kemana?”, tanya
Fon serius.
Tiba-tiba James seperti salah
tingkat. Terlihat gugup di wajahnya. Bahkan tangannya seperti agak gemetar
memegang setir mobil. Fon mengerutkan dahinya. Bingung, itu yang Fon rasakan
saat itu. James menghentiikan mobil di bahu jalan. Tiba-tiba james mengeluarkan
sebuah kotak kecil berwarna merah tua dari dalam saku mantelnya. Fon semakin
penasaran, apa yang akan James lakukan. James membuka kotak yang diambilnya
dari dalam saku mantelnya.
“Will you marry me?”, tanya James
dengan wajah gugup namun serius. Nampak sebuah cicin perak dengan berlian putih
yang mengkilat di atasnya. Fon sangat kaget dan tenggorokannya sangat sakit sehingga
Ia tak mampu mengatakan apa-apa. Mataya melebar, napasnya seperti berhenti, dan
wajahnya memerah.
“Bagaimana?”, tanya James meminta
kepastian. Fon menghela napas dan berpikir keras. Aku rasa ini saatnya. Aku tak bisa menunggu seseorang yang tak pasti
kedatangannya, batin Fon.
Fon mengela napas panjang. “Ya. Aku
mau!”, jawab Fon mantap dengan senyum tipis di wajahnya. James yang sangat
bahagia membuatnya langsung memeluk Fon dengan erat lalu memasangkan cicin tadi
di jari manis Fon.
...
Fon dan James berjalan bergantengan
tangan menyusuri taman kota di bawah langit Tokyo yang sangat dingin. James
merasa bahwa Ia adalah orang palig beruntung dan bahagia bisa mendapatkan Fon.
Tapi apa yang dirasakan Fon? Entahlah. Seperti ada senyum paksa di wajah Fon.
“Lihat. Itu lucu sekali”, seru
James sambil menunjuk boneka salju yang sedang dibuat oleh anak-anak kecil. Fon
yang mengangguk dan tersenyum palsu. Entah apa yang mengganjal hati Fon.
Seharusnya Ia bahagia karena ada lelaki yang melamarnya. Namun Fon justru
seperti menyimpan penyesalan yang tak mampu di gambarkan di dalam
hatinya.tiba-tiba langkah keduanya terhenti melihat seekor burung dara putih
menghampirinya dengan gulungan kertas yang diikat pita merah di dalam paruhnya.
Tiba-tiba Fon teringat sesuatu.
“Hus! Pergi!”, usir James pada
burung tersebut.
“Jangan!”, seru Fon.
Fon dengen segera mengambil
gulungan kertas tersebut dan menarik pita merah yang mengikatnya. Tertulis “Aku
akan kembali!”.